
Terjadi perdebatan sengit antara D. Hasidah S. Lipung, S.H., M.H., kuasa hukum dari inisial H yang berdomisili di Bandung, dengan pihak penyidik Polres Jakarta Selatan yang menjemput kliennya untuk diperiksa (Berita Acara Pemeriksaan – BAP). Kedua belah pihak bersikeras mempertahankan pandangan mereka, masing-masing mengacu pada aturan hukum yang mereka yakini harus dihormati.
Setelah sekitar dua jam mediasi, akhirnya disepakati bahwa pihak D. Hasidah S. Lipung akan mendampingi kliennya menuju Polres Jakarta Selatan. Namun, sebelum kesepakatan tersebut tercapai, sempat terjadi perdebatan sengit antara pihak kuasa hukum dan penyidik.
Kuasa Hukum: “Penyidik Seolah Menggagalkan Sidang Klien Kami Besok”
Pihak kuasa hukum menyatakan keberatan atas langkah penjemputan klien mereka, terutama karena agenda sidang telah dijadwalkan keesokan harinya.
“Surat penyampaian kami terkait sidang dan agenda sidang sudah kami sampaikan. Kok tiba-tiba klien kami malam ini dijemput paksa sementara jadwal sidang besok?” ujar D. Hasidah S. Lipung.
Mereka meminta agar pemeriksaan dapat ditunda agar klien mereka memiliki kesempatan melakukan upaya hukum lain demi membuktikan kebenaran fakta yang ada.
Penetapan Tersangka Tanpa Panggilan?
Kuasa hukum juga mengungkapkan bahwa klien mereka ditetapkan sebagai tersangka di Polres Jakarta Selatan tanpa ada surat panggilan sebelumnya.
“Klien kami ini ditetapkan sebagai tersangka, tetapi setelah penetapan itu, belum ada surat panggilan. Dari dokumen yang kami lihat, kasus ini memiliki unsur keperdataan. Oleh karena itu, kami telah bersurat kepada Polres untuk meminta pendataan terhadap perkara pidana ini, yang disebut dengan Sperma 11965,” ujar D. Hasidah S. Lipung.
Menurut mereka, jika terdapat unsur keperdataan dalam perkara ini, maka seharusnya dilakukan audit terlebih dahulu terhadap proyek yang menjadi objek sengketa.
“Di dalam penetapan tersangka, klien kami dituduh karena adanya cek yang dicairkan oleh pelapor. Padahal, dalam kesepakatan, cek itu baru bisa dicairkan jika progres pekerjaan mencapai 30%. Faktanya, pekerjaan baru berjalan 14,9%, tetapi cek sudah dicairkan. Jelas dong, klien kami tidak mau mengisi karena tidak sesuai dengan perjanjian,” jelasnya.
Upaya Hukum dan Permohonan Restorative Justice
Kuasa hukum menegaskan bahwa mereka telah menempuh berbagai upaya hukum, termasuk menyurati Kapolres agar perkara ini diuji terlebih dahulu secara keperdataan.
“Hak tersangka dalam KUHAP mencakup upaya hukum lain, salah satunya adalah perdata. Jika terbukti sebagai perkara perdata, maka penetapan tersangka harus gugur demi hukum,” tegasnya.
Selain itu, mereka juga telah mengajukan permohonan restorative justice (RJ) agar perkara ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, permohonan tersebut belum difasilitasi oleh pihak kepolisian.
“Kami sudah berupaya menyelesaikan ini secara baik-baik, tapi tidak difasilitasi. Padahal, dalam sistem hukum, penyelesaian secara kekeluargaan harus dipertimbangkan jika ada unsur keperdataan,” tambahnya.
Gugatan Wanprestasi di Pengadilan Negeri Bandung
Kasus ini juga berkaitan dengan gugatan wanprestasi yang diajukan oleh LANGKA LAW FIRM pada 21 Januari 2025 di Pengadilan Negeri Bandung dengan perkara No.: 34/Pdt.G/2025/PN Bdg. Kasus ini melibatkan PT. Pilar Kreasi Mandiri sebagai penggugat dan PT. Dinamis Anugrah Nusantara sebagai tergugat.
Sidang mediasi perkara ini telah dijadwalkan pada Rabu, 19 Februari 2025. Oleh karena itu, pihak kuasa hukum merasa penjemputan klien mereka yang dilakukan pada malam hari sebelum sidang sangat tidak tepat.
“Kami sudah menyampaikan surat terkait agenda sidang. Klien kami harus menghadiri persidangan besok untuk membawa bukti-bukti perjanjian asli. Jika dia tidak hadir, maka kami bisa dianggap tidak menghargai pengadilan, dan itu bisa berdampak pada gugatan perdata yang sedang berjalan,” tegas D. Hasidah S. Lipung.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian terkait alasan di balik penjemputan klien inisial H di tengah jadwal sidang yang sudah ditetapkan.